Usep Agustin

Usep Agustin
Pembukaan LION 2013

24 Februari 2012


Nama      : Usep Agustin
NPM       : 210210110009
Kelas       : Inpus A


Skandal Freeport dan Penjajahan Neoliberalisme

Salah satu bentuk penjajahan neoliberalisme di negeri kita adalah kasus Freeport, yang untuk kesekian kalinya mencuat ke permukaan. Nampaknya kali ini kesabaran masyarakat Papua tak terbendung lagi, sehingga protes-protes yang muncul diwarnai dengan demonstrasi beruntun dan bahkan bentrok fisik dengan aparat TNI/Polri.
Secara kasat mata, fenomena konflik Freeport memberikan gambaran yang menarik untuk dicermati. Tak diragukan, konflik-konflik yang terkait dengan keberadaan Freeport bukanlah fenomena baru dari adanya ketidakberesan perusahaan tambang Amerika itu selama ini.
Bukan rahasia lagi bahwa Kontrak Karya (Contract of Work Area) yang ditangani pemerintah Orde Baru telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sejak awal kehadiran Freeport di Mimika Papua (7 April 1967) telah memicu konflik, terutama dengan masyarakat suku Amungme dan Komoro. Perlakuan yang tidak akomodatif dari pemerintah dan pihak Freeport terhadap tuntutan masyarakat setempat telah memicu protes-protes yang berkepanjangan.
Lokasi pertambangan di daerah Ertsberg (gunung bijih tembaga) Papua pertama kali ditemukan oleh seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda, Jean Dory, pada 1936. Kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi Forbes Wilson pada 1960, yang menemukan kembali Ertsberg. Freeport sendiri pertama kali melakukan penambangan pada Desember 1967, pasca Kontrak Karya I (April 1967). Ekspor pertama konsentrat tembaga terjadi pada Desember 1972. Kemudian pada 1986 ditemukan lagi sumber penambangan baru di Grassberg (gunung rumput) yang kandungan bahan tambangnya jauh lebih besar. Kandungan bahan tambang emas yang terdapat di situ adalah yang terbesar di dunia.
Diperkirakan kuantitas produksi yang dapat diperoleh Freeport dalam sehari adalah 185 ribu sampai 200 ribu ton bijih tembaga dan emas. Singkatnya, Freeport dapat mengeruk dari kedua lokasi tersebut sekitar 30 juta ton tembaga dan 2,744 miliar gram emas. Bila dihitung secara kasar dengan standar harga per gram emas 100 ribu rupiah, berarti nilai emas yang terkandung di bumi Papua sekitar 270 triliun rupiah. Itu baru dari emas saja, belum produk tambang lainnya.
Kenyataan ini jelas sekali membuat Freeport semakin berhasrat untuk memperpanjang Kontrak Karya. Oleh karena itu, dibuatlah Kontrak Karya II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada Freeport untuk menambang selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama 2 kali 10 tahun. Dengan demikian, Kontrak Karya II ini akan berakhir pada 2021; jika diperpanjang, maka akan berakhir pada 2041.
Namun ironisnya, masyarakat daerah dan negara tak memperoleh hasil yang proporsional dari pertambangan tersebut. Kontribusi Freeport kepada APBN (hingga 2005) hanya 2 triliun rupiah pertahun (sekitar 0,5 persen dari total dana APBN), di mana saham negara hanya 9,36% dan sisanya dimiliki perusahaan Amerika tersebut. Sungguh, nilai yang sangat minim untuk ukuran perusahaan raksasa seperti Freeport, yang penghasilannya pada 2005 mencapai 4,2 miliar dolar (sekitar 42 triliun rupiah). Mengapa kita tidak mau belajar dari Bolivia? Negara miskin di Amerika Latin ini telah berhasil memaksa investor asing untuk memberikan laba yang lebih besar, dari 18% menjadi 82%. Tak disangka, para investor asing tersebut bersedia memenuhi permintaan ini. Mengapa demikian? Joseph Stiglitz, dalam wawancaranya dengan Tempo saat berkunjung ke Indonesia (16 Agustus 2007), mengatakan bahwa mereka (para investor asing itu) sadar betul bahwa mereka sedang merampok kekayaan negara-negara berkembang (They will stay there, because they know that in the past they have been robbing the developing countries).
Sementara itu, kantor berita Reuters memberitakan bahwa empat bos besar Freeport minimal menerima bagian 126,3 miliar rupiah perbulan. Chairman perusahaan itu, James R. Moffet, menerima lebih dari 87,5 miliar rupiah perbulan. Sedangkan President Directornya, Andrianto Machribie, menerima sekitar 15,1 miliar rupiah perbulan. Dan tak dipungkiri bahwa para pejabat pemerintahan Orde Baru juga memperoleh bagian yang menggiurkan.
Sungguh kontras dengan kehidupan masyarakat Papua itu sendiri. Menurut statistik, dari 1,5 juta penduduk Papua 80,07% di antaranya tergolong miskin. Jelas sekali, keserakahan Freeport itu telah memancing konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat setempat. Namun sebenarnya masalah telah mulai muncul sejak dilakukannya ekspedisi. Ketika itu tim ekspedisi Forbes Wilson (1960) meminta bantuan kepada masyarakat sekitar untuk membawakan barang-barang keperluan rombongan, tetapi pada akhirnya mereka tidak dibayar. Peristiwa inilah yang menjadi awal kekecewaan masyarakat. Konflik berikutnya berkaitan dengan dibuatnya “January Agreement” (1974), yang isinya menyangkut kesepakatan antara Freeport dengan masyarakat suku Amungme dalam pematokan lahan tambang dan batas tanah. Namun kenyataannya, Freeport telah mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Akibatnya, masyarakat adat semakin tergeser dan menjadi kaum pinggiran.
Realitas sosial ini kemudian menyulut munculnya tuntutan perolehan laba Freeport oleh masyarakat adat setempat. Sehingga, akhirnya mulai 1996 Freeport memutuskan untuk memberikan dana sekitar 1% dari laba kotor perusahaan, yang disebut “Freeport Fund for Irian Jaya Development”. Namun disinyalir pemberian dana ini hanya sekedar akal-akalan Freeport untuk meredam kerusuhan Maret 1996. Selain itu, dana tersebut telah menimbulkan konflik baru antar suku (Amungme dan suku-suku lainnya) mengenai siapa yang paling berhak memanfaatkannya. Jelas sekali hal ini menguntungkan pihak Freeport, karena dengan munculnya konflik internal ini konsentrasi masyarakat tak lagi tertuju pada Freeport. Selain itu, sebagai kompensasi dari dana tersebut, Freeport kemudian memperluas wilayah dan kuantitas penambangannya.
Tidak hanya itu, Freeport bahkan dengan leluasa memanfaatkan aparat keamanan dari TNI dan Polri untuk menghadapi aksi protes masyarakat. Untuk itu, Freeport telah mengucurkan dana yang sangat besar bagi aparat keamaan, yang telah beralih fungsi menjadi bodyguard atau centeng itu. Koran The New York Times memberitakan bahwa Freeport telah membayar sekitar 30 juta dolar kepada TNI dan Polri antara 1998 dan 2004. Lebih dari itu, Freeport juga telah menjejali hingga puluhan dan ratusan ribu dolar ke kantong sejumlah pejabat militer senior. Bahkan pada 2003 Freeport juga mengakui telah membayar TNI dan Polri sebesar 11 juta dolar antara 2001 dan 2002. Karenanya, kerap terjadi pelanggaran HAM di lokasi sekitar penambangan. Masyarakat yang berupaya mengais-ngais tailing untuk sekedar mencari sisa rezeki, diusir dengan paksa dan bahkan ada yang ditembak.
Masalah lainnya adalah dugaan kuat adanya praktik manipulasi hasil tambang yang dilakukan Freeport. Hasil tambang Freeport—berupa konsentrat tembaga, emas, dan perak—disalurkan secara tertutup melalui pipa besar yang dipasang langsung dari pusat pertambangan Grassberg sepanjang seratus kilometer ke tepi laut Arafura, untuk dibawa ke Amerika. Hanya sedikit pengolahan konsentrat yang dilakukan di Indonesia (sekitar 3% menurut anggota Panja DPR atau 30% menurut Manajer Teknik PT. Smelting Gresik). Sehingga tak pernah diketahui kuantitas dan nilai produksi yang sebenarnya. Bahkan kabarnya Freeport telah membawa pula uranium dari sana. Apalagi kalau dilihat dari perolehan negara yang hanya sebesar 2 triliun rupiah pertahun, dibandingkan dengan pendapatan Freeport pada 2005, jelas jauh di bawah nilai saham negara sebesar 9,36%.
Belum lagi dugaan kuat penggelapan pajak. Sebagai gambaran, pada 1994 Freeport memperoleh pendapatan 1,1 miliar dolar (atau berdasarkan kurs saat itu sekitar 2,2 triliun rupiah). Sementara Barnabas Suebu, mantan Gubernur Irian Jaya, menyebutkan bahwa nilai pajak Freeport yang kembali ke daerah selama ia menjadi Gubernur pada 1988-1993 tidak lebih dari 20 miliar rupiah (kurang dari 0,2% pendapatan Freeport tersebut).
Pelanggaran lainnya adalah kerusakan lingkungan. Entah berapa besar tanah di sekitar pertambangan yang telah rusak berat selama beroperasinya Freeport. Tentu saja ini memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi ekologi Papua maupun kesehatan masyarakat. Bayangkan saja, masyarakat mesti meminum air dari sumur-sumur yang telah sangat tercemar limbah. Sekedar gambaran, dari produksi harian Freeport sebesar 200 ribu ton, menghasilkan limbah pasir kimiawi (tailing) sekitar 190 ribu ton. Dapat dibayangkan bagaimana dahsyat dampak buruknya bagi lingkungan setempat setiap harinya. Bahkan saat ini salju di puncak gunung Jaya Wijaya pun telah mencair akibat pencemaran limbah buangan ini.
Namun ironis sekali, pemerintah kita justru terus membela keberadaan Freeport di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Freeport selalu memberi laporan data kinerja perusahaan kepada pemerintah Indonesia, sehingga tak ada alasan untuk menutup perusahaan Amerika tersebut. Masalahnya, seberapa jauh kejujuran mereka dalam memberikan laporan itu. Bahkan telah terbukti mereka tidak jujur. Lalu sampai kapan kita mesti menjadi budak di negeri sendiri pak Presiden.
Akibat yang ditimbulkan oleh PT. Freeport

A.    Longsor

Longsor yang terjadi di sekitar areal tambang emas PT Freeport Indonesia di Mimika, Provinsi Papua, Senin (5/5) malam tak semata-mata karena kawasan tersebut terjal ataupun karena timpaan hujan deras. Tetapi ini bukti bahwa daya dukung kawasan tersebut tak mampu menanggung beban kerusakan lingkungan karena penambangan PT FI. Demikian siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang diterima beritabumi.or.id  pada Jumat (9/5).

Dalam siaran persnya, Jatam menyampaikan bahwa longsor di kawasan tambang emas yang mengorbankan sekitar 20 pendulang emas tradisional di kawasan itu tidak hanya sekali ini. Tercatat longsor di kawasan Freeport terjadi pada 2000, tiga kali pada 2003 dan paling akhir 2006.
Bencana longsor hanya salah satu bagian masalah di tambang ini. Banyak lagi masalah seputar tambang ini. Menurut Jatam, saat ini limbah tailing PT FI setidaknya sudah mencapai 1,187 milyar ton. Tailing ini dibuang ke sungai Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa, yang tiga tahun lalu telah merusak sekitar 2100 ha hingga 6300 ha hutan bakau. Tak hanya itu, ada 11 ribu ha wilayah estuari tercemar, juga 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa tercemar tailing dan 13.300 ribu lahan subur terkubur.
Pada 26 Maret 2006, Menteri Lingkungan Hidup mengumumkan PT FI tidak memiliki ijin pembuangan air limbah. Limbah tailing di outlet ModADA Pandan Lima dan Kelapa Lima tidak memenuhi standar parameter padatan terlarut (TSS) dan tidak memiliki ijin pembuangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya.
Sementara PLTU Puncak Jaya menghasilkan emisi tidak memenuhi standar untuk parameter SO2 serta pelanggaran Peraturan Pemerintah karena terjadinya pembuangan langsung fly ash dan bottom ash. Meski jelas melanggar UU Lingkungan Hidup, Jatam menyayangkan pemerintahan SBY tidak bertindak apapun.
Aktivitas penambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia diduga telah mencemari lingkungan di perairan Kabupaten Mimika, Papua. Hal ini terlihat dari rusaknya sebagian hutan bakau di perairan itu. Selain itu terjadi pendangkalan di beberapa sungai dan laut akibat pasir sisa tambang yang dibuang oleh PT reeport. Anggota Komisi IV DPR Sudin mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyelesaikan kasus ini. enurutnya, kerusakan  akibat kegiatan PT Freeport membawa dampak buruk bagi pelestarian lingkungan Papua.“Apakah kerusakan itu dikarenakan oleh PT Freeport? Apalabila kerusakan itu memang dari Freeport maka kami akan bertindak dan meminta Departemen Kelautan dan Perikanan segera mengambil keputusan,” tegas Sudin. Ia menambahkan, jika kerusakan itu disebabkan limbah Freeport maka harus ada pertanggungjawaban dari perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Sementara itu, pemerintah diminta segera mengaudit PT Freeport Indonesia. Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bambang Susilo mengatakan, dengan hasil audit ini akan ditemukan bukti-bukti pelanggaran yang selama ini dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat itu. Bambang menambahkan, audit dilakukan dari semua sisi diantaranya royalti kepada pemerintah daerah, pelanggaran HAM maupun lingkungan dari eksplorasi tambang dan pembuangan limbah.

Pemerintah Minta PT Freeport Cari Solusi


 Pemerintah meminta PT Freeport Indonesia (PT FI) dan karyawan duduk bersama mencari solusi untuk mengatasi mogok kerja. Dengan demikian, aksi yang melibatkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) itu bisa segera diselesaikan dan tidak mengganggu proses produksi perusahaan yang beroperasi di dataran tinggi Mimika,Papua, tersebut.”Kami meminta Freeport menyelesaikan masalah segera. Perusahaan dan pekerja harus duduk bersama dan membicarakan solusi.Ini cara terbaik untuk mencari jalan keluar,” ujar Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Thamrin Sihite di Jakarta.

Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha berharap pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan konflik hubungan kerja tersebut, sehingga tidak sampai berlarut-larut dan mengganggu investasi. ”Seharusnya pemerintah yakni Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian ESDM segera menyelesaikan konflik yang terjadi di tubuh Freeport, ”ujarnya. Berdasar keterangan Juru Bicara Kementerian ESDM Kardaya Warnika, dirjen Minerba kemarin sore terbang ke Papua untuk mengetahui duduk persoalan secara langsung. Juru Bicara Freeport Ramdani Sirait menyatakan, pihaknya terbuka dan bersedia berunding dengan karyawan melalui SPSI yang sah dan diakui pemerintah agar masalah ini segera diselesaikan demi kepentingan kedua belah pihak.“Perusahaan telah menginformasikan situasi terakhir kepada pemerintah lokal, provinsi, dan pusati,”ujar Ramdani.Dikonfirmasi mengenai kabar enam karyawan di-PHK akibat merencanakan aksi demonstrasi, Ramdani membantah.Menurut dia,keenam orang itu diberhentikan karena melakukan pelanggaran, yakni lima hari tidak masuk kerja tanpa izin.
Hingga kemarin aksi mogok karyawan anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper &Gold Inc yang bermarkas di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat tersebut masih berlangsung sehingga operasi perusahaan lumpuh. Ribuan karyawan masih tertahan di depan pintu gerbang Check Point 1 Kuala Kencana karena dihadang aparat kepolisian dari Polres Mimika dan Brimob Detasemen B Polda Papua.
Sebagaimana sehari sebelumnya, mereka berencana menuju ke Kantor PT Freeport I Kuala Kencana untuk menyampaikan aspirasinya. Jumlah karyawan yang menggelar aksi mogok kerja damai di depan pintu gerbang Check Point 1 Kuala Kencana bertambah banyak karena ribuan karyawan yang turun dari Tembagapura sejak Senin (4/7/2011) malam sudah tiba di Timika untuk bergabung dalam aksi solidaritas yang dimotori SPSI PT Freeport itu.
Mereka berada di tempat tersebut setelah berjalan kaki sejauh 60 km dari lokasi tambang Grasberg di Tembagapura ke Kantor PT Freeport di Kuala Kencana,Timika sejak Senin (4/7/2011). Karena jarak sangat jauh,tidak sedikit dari mereka yang terpaksa dievakuasi karena mengalami cedera dan dehidrasi.
Manajemen perusahaan menutup semua akses termasuk mess dan transportasi menuju Kota Timika. Aksi mogok kerja dipicu tidak adanya tanggapan dari pengelola perusahaan tambang itu atas tuntutan kenaikan gaji buruh dengan mengacu pada standar gaji PT Freeport di negara lain.
Selama ini mereka hanya dibayar USD1,5 per jam. Mereka menuntut upah menjadi USD3 per jam atau dinaikkan 100 persen. Para pekerja membandingkan dengan karyawan Freeport McMoran di negara lain yang menerima upah hingga USD15 per jam. Selain itu, aksi mogok juga dipicu oleh pemecatan PT Freeport terhadap sejumlah pengurus serikat karyawannya, termasuk Ketua SPSI Unit Kerja PT Freeport Indonesia,Sudiro.
Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia mengancam akan melakukan aksi mogok selama sepekan jika pengelola PT Freeport tidak memenuhi tuntutan mereka. Pengurus Bidang Hubungan Industrial dari SPSI PT Freeport Indonesia Frans Bernhard Okoseray mengatakan, para pekerja yang diwakili SPSI dengan PT Freeport sudah berminggu minggu membahas perubahan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), namun tidak ada titik temu masalah gaji.
Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto membenarkan ribuan karyawan terus bertahan di pintu masuk Kuala Kencana dan tidak diperkenankan masuk.Dia menilai aksi mogok dan demonstrasi masih tergolong tertib, sehingga belum perlu ada penambahan aparat keamanan. Namun, dia menegaskan, jika ada yang merusak atau melakukan tindakan pidana, pihaknya akan melakukan tindakan tegas.
Gubernur Papua Barnabas Suebu juga menilai aksi mogok dandemonstrasiyangdilakukan ribuan karyawan PT Freeport sebagai hal yang wajar dalam sebuah perusahaan yang sedang mengalami suatu perkembangan pembangunan dewasa ini. (Koran SI/Koran SI/wdi)















Tidak ada komentar:

Posting Komentar