Nama : Usep Agustin
NPM : 210210110009
Kelas : Inpus A
Salah satu bentuk penjajahan neoliberalisme di
negeri kita adalah kasus Freeport, yang untuk kesekian kalinya mencuat ke
permukaan. Nampaknya kali ini kesabaran masyarakat Papua tak terbendung
lagi, sehingga protes-protes yang muncul diwarnai dengan demonstrasi beruntun
dan bahkan bentrok fisik dengan aparat TNI/Polri.
Secara kasat mata, fenomena konflik Freeport
memberikan gambaran yang menarik untuk dicermati. Tak diragukan,
konflik-konflik yang terkait dengan keberadaan Freeport bukanlah fenomena baru
dari adanya ketidakberesan perusahaan tambang Amerika itu selama ini.
Bukan rahasia lagi bahwa Kontrak Karya (Contract
of Work Area) yang ditangani pemerintah Orde Baru telah mengabaikan
prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sejak awal kehadiran
Freeport di Mimika Papua (7 April 1967) telah memicu konflik, terutama dengan
masyarakat suku Amungme dan Komoro. Perlakuan yang tidak akomodatif dari
pemerintah dan pihak Freeport terhadap tuntutan masyarakat setempat telah memicu
protes-protes yang berkepanjangan.
Lokasi pertambangan di daerah Ertsberg (gunung
bijih tembaga) Papua pertama kali ditemukan oleh seorang ahli geologi
berkebangsaan Belanda, Jean Dory, pada 1936. Kemudian dilanjutkan dengan
ekspedisi Forbes Wilson pada 1960, yang menemukan kembali Ertsberg. Freeport
sendiri pertama kali melakukan penambangan pada Desember 1967, pasca Kontrak
Karya I (April 1967). Ekspor pertama konsentrat tembaga terjadi pada Desember
1972. Kemudian pada 1986 ditemukan lagi sumber penambangan baru di Grassberg
(gunung rumput) yang kandungan bahan tambangnya jauh lebih besar. Kandungan
bahan tambang emas yang terdapat di situ adalah yang terbesar di dunia.
Diperkirakan kuantitas produksi yang dapat
diperoleh Freeport dalam sehari adalah 185 ribu sampai 200 ribu ton bijih
tembaga dan emas. Singkatnya, Freeport dapat mengeruk dari kedua lokasi
tersebut sekitar 30 juta ton tembaga dan 2,744 miliar gram emas. Bila dihitung
secara kasar dengan standar harga per gram emas 100 ribu rupiah, berarti nilai
emas yang terkandung di bumi Papua sekitar 270 triliun rupiah. Itu baru dari
emas saja, belum produk tambang lainnya.
Kenyataan ini jelas sekali membuat Freeport
semakin berhasrat untuk memperpanjang Kontrak Karya. Oleh karena itu, dibuatlah
Kontrak Karya II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada Freeport untuk
menambang selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama 2 kali 10
tahun. Dengan demikian, Kontrak Karya II ini akan berakhir pada 2021; jika
diperpanjang, maka akan berakhir pada 2041.
Namun ironisnya, masyarakat daerah dan negara tak
memperoleh hasil yang proporsional dari pertambangan tersebut. Kontribusi
Freeport kepada APBN (hingga 2005) hanya 2 triliun rupiah pertahun (sekitar 0,5
persen dari total dana APBN), di mana saham negara hanya 9,36% dan sisanya
dimiliki perusahaan Amerika tersebut. Sungguh, nilai yang sangat minim untuk
ukuran perusahaan raksasa seperti Freeport, yang penghasilannya pada 2005
mencapai 4,2 miliar dolar (sekitar 42 triliun rupiah). Mengapa kita tidak mau
belajar dari Bolivia? Negara miskin di Amerika Latin ini telah berhasil memaksa
investor asing untuk memberikan laba yang lebih besar, dari 18% menjadi 82%.
Tak disangka, para investor asing tersebut bersedia memenuhi permintaan ini.
Mengapa demikian? Joseph Stiglitz, dalam wawancaranya dengan Tempo saat
berkunjung ke Indonesia (16 Agustus 2007), mengatakan bahwa mereka (para
investor asing itu) sadar betul bahwa mereka sedang merampok kekayaan
negara-negara berkembang (They will stay there, because they know that in the
past they have been robbing the developing countries).
Sementara itu, kantor berita Reuters memberitakan
bahwa empat bos besar Freeport minimal menerima bagian 126,3 miliar rupiah
perbulan. Chairman perusahaan itu, James R. Moffet, menerima lebih dari 87,5
miliar rupiah perbulan. Sedangkan President Directornya, Andrianto Machribie,
menerima sekitar 15,1 miliar rupiah perbulan. Dan tak dipungkiri bahwa para
pejabat pemerintahan Orde Baru juga memperoleh bagian yang menggiurkan.
Sungguh kontras dengan kehidupan
masyarakat Papua itu sendiri. Menurut statistik, dari 1,5 juta
penduduk Papua 80,07% di antaranya tergolong miskin. Jelas sekali, keserakahan
Freeport itu telah memancing konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat
setempat. Namun sebenarnya masalah telah mulai muncul sejak dilakukannya
ekspedisi. Ketika itu tim ekspedisi Forbes Wilson (1960) meminta bantuan kepada
masyarakat sekitar untuk membawakan barang-barang keperluan rombongan, tetapi
pada akhirnya mereka tidak dibayar. Peristiwa inilah yang menjadi awal
kekecewaan masyarakat. Konflik berikutnya berkaitan dengan dibuatnya “January
Agreement” (1974), yang isinya menyangkut kesepakatan antara Freeport dengan
masyarakat suku Amungme dalam pematokan lahan tambang dan batas tanah. Namun
kenyataannya, Freeport telah mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah
disepakati. Akibatnya, masyarakat adat semakin tergeser dan menjadi kaum
pinggiran.
Realitas sosial ini kemudian menyulut munculnya
tuntutan perolehan laba Freeport oleh masyarakat adat setempat. Sehingga,
akhirnya mulai 1996 Freeport memutuskan untuk memberikan dana sekitar 1% dari
laba kotor perusahaan, yang disebut “Freeport Fund for Irian Jaya Development”.
Namun disinyalir pemberian dana ini hanya sekedar akal-akalan Freeport untuk
meredam kerusuhan Maret 1996. Selain itu, dana tersebut telah menimbulkan
konflik baru antar suku (Amungme dan suku-suku lainnya) mengenai siapa yang
paling berhak memanfaatkannya. Jelas sekali hal ini menguntungkan pihak
Freeport, karena dengan munculnya konflik internal ini konsentrasi masyarakat
tak lagi tertuju pada Freeport. Selain itu, sebagai kompensasi dari dana
tersebut, Freeport kemudian memperluas wilayah dan kuantitas penambangannya.
Tidak hanya itu, Freeport bahkan dengan
leluasa memanfaatkan aparat keamanan dari TNI dan Polri untuk menghadapi aksi
protes masyarakat. Untuk itu, Freeport telah mengucurkan dana yang
sangat besar bagi aparat keamaan, yang telah beralih fungsi menjadi bodyguard
atau centeng itu. Koran The New York Times memberitakan bahwa Freeport telah
membayar sekitar 30 juta dolar kepada TNI dan Polri antara 1998 dan 2004. Lebih
dari itu, Freeport juga telah menjejali hingga puluhan dan ratusan ribu dolar
ke kantong sejumlah pejabat militer senior. Bahkan pada 2003 Freeport juga
mengakui telah membayar TNI dan Polri sebesar 11 juta dolar antara 2001 dan
2002. Karenanya, kerap terjadi pelanggaran HAM di lokasi sekitar penambangan.
Masyarakat yang berupaya mengais-ngais tailing untuk sekedar mencari sisa
rezeki, diusir dengan paksa dan bahkan ada yang ditembak.
Masalah lainnya adalah dugaan kuat adanya praktik
manipulasi hasil tambang yang dilakukan Freeport. Hasil tambang Freeport—berupa
konsentrat tembaga, emas, dan perak—disalurkan secara tertutup melalui pipa besar
yang dipasang langsung dari pusat pertambangan Grassberg sepanjang seratus
kilometer ke tepi laut Arafura, untuk dibawa ke Amerika. Hanya sedikit
pengolahan konsentrat yang dilakukan di Indonesia (sekitar 3% menurut anggota
Panja DPR atau 30% menurut Manajer Teknik PT. Smelting Gresik). Sehingga tak
pernah diketahui kuantitas dan nilai produksi yang sebenarnya. Bahkan kabarnya
Freeport telah membawa pula uranium dari sana. Apalagi kalau dilihat dari
perolehan negara yang hanya sebesar 2 triliun rupiah pertahun, dibandingkan
dengan pendapatan Freeport pada 2005, jelas jauh di bawah nilai saham negara
sebesar 9,36%.
Belum lagi dugaan kuat penggelapan pajak.
Sebagai gambaran, pada 1994 Freeport memperoleh pendapatan 1,1 miliar dolar
(atau berdasarkan kurs saat itu sekitar 2,2 triliun rupiah). Sementara Barnabas
Suebu, mantan Gubernur Irian Jaya, menyebutkan bahwa nilai pajak Freeport yang
kembali ke daerah selama ia menjadi Gubernur pada 1988-1993 tidak lebih dari 20
miliar rupiah (kurang dari 0,2% pendapatan Freeport tersebut).
Pelanggaran lainnya adalah kerusakan lingkungan.
Entah berapa besar tanah di sekitar pertambangan yang telah rusak berat selama
beroperasinya Freeport. Tentu saja ini memberikan dampak yang tidak
menguntungkan bagi ekologi Papua maupun kesehatan masyarakat. Bayangkan saja,
masyarakat mesti meminum air dari sumur-sumur yang telah sangat tercemar
limbah. Sekedar gambaran, dari produksi harian Freeport sebesar 200 ribu ton,
menghasilkan limbah pasir kimiawi (tailing) sekitar 190 ribu ton. Dapat
dibayangkan bagaimana dahsyat dampak buruknya bagi lingkungan setempat setiap
harinya. Bahkan saat ini salju di puncak gunung Jaya Wijaya pun telah mencair
akibat pencemaran limbah buangan ini.
Namun ironis sekali, pemerintah kita
justru terus membela keberadaan Freeport di Indonesia. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Freeport selalu memberi laporan
data kinerja perusahaan kepada pemerintah Indonesia, sehingga tak ada alasan
untuk menutup perusahaan Amerika tersebut. Masalahnya, seberapa jauh kejujuran
mereka dalam memberikan laporan itu. Bahkan telah terbukti mereka tidak jujur.
Lalu sampai kapan kita mesti menjadi budak di negeri sendiri pak Presiden.
Akibat yang
ditimbulkan oleh PT. Freeport
A. Longsor
Longsor yang terjadi di sekitar areal tambang emas PT
Freeport Indonesia di Mimika, Provinsi Papua, Senin (5/5) malam tak semata-mata
karena kawasan tersebut terjal ataupun karena timpaan hujan deras. Tetapi ini
bukti bahwa daya dukung kawasan tersebut tak mampu menanggung beban kerusakan
lingkungan karena penambangan PT FI. Demikian siaran pers Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam) yang diterima beritabumi.or.id pada Jumat (9/5).
Dalam siaran persnya, Jatam menyampaikan bahwa longsor
di kawasan tambang emas yang mengorbankan sekitar 20 pendulang emas tradisional
di kawasan itu tidak hanya sekali ini. Tercatat longsor di kawasan
Freeport terjadi pada 2000, tiga kali pada 2003 dan paling akhir 2006.
Bencana longsor hanya salah satu
bagian masalah di tambang ini. Banyak lagi masalah seputar tambang ini. Menurut Jatam, saat ini limbah
tailing PT FI setidaknya sudah mencapai 1,187 milyar ton. Tailing ini dibuang
ke sungai Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa, yang tiga tahun lalu telah merusak
sekitar 2100 ha hingga 6300 ha hutan bakau. Tak hanya itu,
ada 11 ribu ha wilayah estuari tercemar, juga 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa
tercemar tailing dan 13.300 ribu lahan subur terkubur.
Pada 26 Maret
2006, Menteri Lingkungan Hidup mengumumkan PT FI tidak memiliki ijin pembuangan
air limbah. Limbah tailing di outlet ModADA Pandan Lima dan Kelapa Lima tidak
memenuhi standar parameter padatan terlarut (TSS) dan tidak memiliki ijin
pembuangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya.
Sementara PLTU Puncak Jaya
menghasilkan emisi tidak memenuhi standar untuk parameter SO2 serta pelanggaran
Peraturan Pemerintah karena terjadinya pembuangan langsung fly ash dan bottom
ash. Meski jelas melanggar UU Lingkungan Hidup, Jatam menyayangkan
pemerintahan SBY tidak bertindak apapun.
Aktivitas
penambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia diduga telah mencemari
lingkungan di perairan Kabupaten Mimika, Papua. Hal ini terlihat dari rusaknya
sebagian hutan bakau di perairan itu. Selain itu terjadi pendangkalan di
beberapa sungai dan laut akibat pasir sisa tambang yang dibuang oleh PT
reeport. Anggota Komisi IV DPR Sudin mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi
dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyelesaikan kasus ini.
enurutnya, kerusakan akibat kegiatan PT Freeport membawa dampak buruk
bagi pelestarian lingkungan Papua.“Apakah kerusakan itu dikarenakan oleh PT
Freeport? Apalabila kerusakan itu memang dari Freeport maka kami akan bertindak
dan meminta Departemen Kelautan dan Perikanan segera mengambil keputusan,”
tegas Sudin. Ia menambahkan, jika kerusakan itu disebabkan limbah Freeport maka
harus ada pertanggungjawaban dari perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Sementara itu, pemerintah diminta
segera mengaudit PT Freeport Indonesia. Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Bambang Susilo mengatakan, dengan hasil audit ini akan ditemukan
bukti-bukti pelanggaran yang selama ini dilakukan perusahaan asal Amerika
Serikat itu. Bambang menambahkan, audit dilakukan dari semua sisi diantaranya
royalti kepada pemerintah daerah, pelanggaran HAM maupun lingkungan dari eksplorasi
tambang dan pembuangan limbah.
Pemerintah Minta PT Freeport Cari Solusi
Pemerintah meminta PT
Freeport Indonesia (PT FI) dan karyawan duduk bersama mencari solusi untuk
mengatasi mogok kerja. Dengan demikian, aksi yang melibatkan Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI) itu bisa segera diselesaikan dan tidak mengganggu
proses produksi perusahaan yang beroperasi di dataran tinggi Mimika,Papua,
tersebut.”Kami meminta Freeport menyelesaikan masalah segera. Perusahaan dan
pekerja harus duduk bersama dan membicarakan solusi.Ini cara terbaik untuk
mencari jalan keluar,” ujar Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Thamrin Sihite di Jakarta.
Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha berharap pemerintah pusat turun tangan
untuk menyelesaikan konflik hubungan kerja tersebut, sehingga tidak sampai
berlarut-larut dan mengganggu investasi. ”Seharusnya pemerintah yakni
Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian ESDM segera menyelesaikan konflik yang
terjadi di tubuh Freeport, ”ujarnya. Berdasar keterangan Juru Bicara
Kementerian ESDM Kardaya Warnika, dirjen Minerba kemarin sore terbang ke Papua
untuk mengetahui duduk persoalan secara langsung. Juru Bicara Freeport Ramdani
Sirait menyatakan, pihaknya terbuka dan bersedia berunding dengan karyawan melalui
SPSI yang sah dan diakui pemerintah agar masalah ini segera diselesaikan demi
kepentingan kedua belah pihak.“Perusahaan telah menginformasikan situasi
terakhir kepada pemerintah lokal, provinsi, dan pusati,”ujar
Ramdani.Dikonfirmasi mengenai kabar enam karyawan di-PHK akibat merencanakan
aksi demonstrasi, Ramdani membantah.Menurut dia,keenam orang itu diberhentikan
karena melakukan pelanggaran, yakni lima hari tidak masuk kerja tanpa izin.
Hingga
kemarin aksi mogok karyawan anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper &Gold
Inc yang bermarkas di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat tersebut masih
berlangsung sehingga operasi perusahaan lumpuh. Ribuan karyawan masih tertahan
di depan pintu gerbang Check Point 1 Kuala Kencana karena dihadang aparat
kepolisian dari Polres Mimika dan Brimob Detasemen B Polda Papua.
Sebagaimana
sehari sebelumnya, mereka berencana menuju ke Kantor PT Freeport I Kuala
Kencana untuk menyampaikan aspirasinya. Jumlah karyawan yang menggelar aksi
mogok kerja damai di depan pintu gerbang Check Point 1 Kuala Kencana bertambah
banyak karena ribuan karyawan yang turun dari Tembagapura sejak Senin
(4/7/2011) malam sudah tiba di Timika untuk bergabung dalam aksi solidaritas
yang dimotori SPSI PT Freeport itu.
Mereka
berada di tempat tersebut setelah berjalan kaki sejauh 60 km dari lokasi
tambang Grasberg di Tembagapura ke Kantor PT Freeport di Kuala Kencana,Timika
sejak Senin (4/7/2011). Karena jarak sangat jauh,tidak sedikit dari mereka yang
terpaksa dievakuasi karena mengalami cedera dan dehidrasi.
Manajemen
perusahaan menutup semua akses termasuk mess dan transportasi menuju Kota
Timika. Aksi mogok kerja dipicu tidak adanya tanggapan dari pengelola
perusahaan tambang itu atas tuntutan kenaikan gaji buruh dengan mengacu pada
standar gaji PT Freeport di negara lain.
Selama
ini mereka hanya dibayar USD1,5 per jam. Mereka menuntut upah menjadi USD3 per
jam atau dinaikkan 100 persen. Para pekerja membandingkan dengan karyawan
Freeport McMoran di negara lain yang menerima upah hingga USD15 per jam. Selain
itu, aksi mogok juga dipicu oleh pemecatan PT Freeport terhadap sejumlah
pengurus serikat karyawannya, termasuk Ketua SPSI Unit Kerja PT Freeport
Indonesia,Sudiro.
Serikat
Pekerja PT Freeport Indonesia mengancam akan melakukan aksi mogok selama sepekan
jika pengelola PT Freeport tidak memenuhi tuntutan mereka. Pengurus Bidang
Hubungan Industrial dari SPSI PT Freeport Indonesia Frans Bernhard Okoseray
mengatakan, para pekerja yang diwakili SPSI dengan PT Freeport sudah berminggu
minggu membahas perubahan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), namun tidak ada titik
temu masalah gaji.
Kapolda
Papua Irjen Pol Bekto Suprapto membenarkan ribuan karyawan terus bertahan di
pintu masuk Kuala Kencana dan tidak diperkenankan masuk.Dia menilai aksi mogok
dan demonstrasi masih tergolong tertib, sehingga belum perlu ada penambahan
aparat keamanan. Namun, dia menegaskan, jika ada yang merusak atau melakukan
tindakan pidana, pihaknya akan melakukan tindakan tegas.
Gubernur
Papua Barnabas Suebu juga menilai aksi mogok dandemonstrasiyangdilakukan ribuan
karyawan PT Freeport sebagai hal yang wajar dalam sebuah perusahaan yang sedang
mengalami suatu perkembangan pembangunan dewasa ini. (Koran SI/Koran
SI/wdi)